Senin, 18 November 2013

Inikah cinta atau...?

"Kamu pikir gampang untuk melupakan semuanya. setelah semua hal manis yang kita lewati. dengan mudahnya kamu bilang lupakan semua. apa kamu pernah berpikir gimana sakitnya perasaanku saat kamu mutusin untuk akhiri semuanya?"

telepon terputus.

Tubuhku terhempas seketika pembicaraan berakhir. Kata-kata terakhirnya masih terus terngiang ditelinga ini.

"Lupakan aku. aku gak pantas untuk kamu perjuangin"

Tau apa kau tentang perjuanganku? Hanya aku yang tau siapa yang pantas untuk ku perjuangkan. Kau tak akan pernah paham sampai kau berada pada posisi ku. Posisi ketika kau benar-benar cinta namun harus menghadapi kenyataan terpaksa melepaskan.

Aku ingin melangkah menuju kursi kecil didekat tempat tidurku, namun kakiku lemah. Ponsel yang menjadi perantara interaksi antara aku dan lelaki itu kini pun tak berada di genggamanku lagi. Aku terkulai kaku dibalik pintu kamarku. Kutekuk kakiku, masih gemetar rasanya. Aku menangis sekencangnya.

"Aku menyayangimu, namun semuanya buatku ga mampu"
Air mata makin deras.

"Maafin aku, aku bukan lelaki yang baik"
Aku menutup telingaku.

"Kamu pantas bahagia dengan dia yang terbaik"
Ah, suara diujung telepon malam itu buatku tak ingin memindahkan tangan dari kedua telingaku.

Aku masih tak mengerti. Sedikitpun. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Kucoba memikirkan hal-hal lalu ketika kami masih melalui segalanya bersama. Namun lagi-lagi tetap sama, sedikitpun tak kutemui penyebab apa yang menjadikan kesendirian ini berawal.

"Kamu gak bisa memaksakan semuanya"
Kembali terngiang suara yang tak asing ditelingaku.

"Segala hal yang dipaksakan itu gak kan pernah baik hasilnya"
Lagi dan lagi.

"Lupakan aku. lupakan semua tentang kita. kamu bisa mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari aku"
Aku menutup kedua telingaku juga mataku.

"Maafkan aku, tapi kamu berhak mendapatkan yang terbaik"

"Cukupppppppp" pekikku.

Kupandangi sekeliling kamar tempatku berdiri saat ini. Tak ada seorangpun disini. Hanya sebuah cermin besar, yang didalamnya terpantul seorang gadis berdiri menghadapku. Wajahnya terlihat lemah, tatapnya hampa, matanya sembab karna terlalu banyak menangis. Gadis itu adalah aku. Aku yang sedari tadi berdiri menghadap cermin yang telah retak karena ulahku. Karena aku lelah, karena aku tak tahan lagi mendengar suara-suara yang tak asing itu terus menggerayangi pendengaranku.

Entah bagaimana caranya, tapi suara itu terus terdengar dan tak henti mengusikku. Air wudlu. segera kubasuh wajahku, kemudian melarutkan diri dalam obrolan bersama-Nya. Mukena yang kukenakan, terasa lembab dibagian bawah daguku. Mungkin karna airmata yang tak henti menetes disepanjang ku menengadahkan tangan dihadapan Tuhan.

Entah apa yang kupikirkan tapi dalam hening malam ini terselip kalimat lirihku pada-Nya. Sajadah merah bata berlukiskan kubah rumah Tuhan yang kini menjadi media tempat berkomunikasi dan menciptakan percakapan khusyukku dengan-Nya turut nenjadi saksi bisu lara ini. Makhluk ciptaan-Nya benar-benar berhasil membuat wajah ini tertekuk lemah.

Entah harus aku anggap apa setiap hal yang kulalui setelah mengenalnya kini. Inikah indahnya, atau skenario tentang cinta paling menyakitkan yang tak sengaja kurasakan.
Entahlah. yang jelas malam ini aku hanya ingin tenang, dan membiarkan diriku lelap beralaskan kain merah bata itu.