Selasa, 16 Oktober 2012

Untuk-Mu, Tuhan…


Tuhan …
Ku tulis surat ini kala malam hampir usai dan fajar mulai menyingsing,
Kala rembulan menutup mata,
Ketika Sang Surya hampir tiba.
Tuhan …
Ku tulis surat ini saat mata mulai lelah
Ketika lolongan anjing mulai hening kemudian berganti dengan kokok Si Pejantan.

Ini aku,
Belasan tahun lalu, ketika tangis memecah heningnya pagi,
Kisah itu di mulai.
Aku masih ingat saat Bunda,
dia yang menjaga ku bahkan sampai aku mengenal segala di sekitarku.
Matanya berkaca mengenang saat itu,
Ketika bintang kecil itu datang.
Aku.

Kini aku telah beranjak dewasa.
Gadis manis belasan tahun yang lalu
Bintang kecil Ayah Bunda, yang kini masih berusaha menemukan jati dirinya.

Tuhan …
Ini aku,
Si kecil yang kini tlah beranjak dari dunia khayalnya, ingin bercerita.
Masih terngiang, jeritan hati 16 tahun lalu.
Mereka,
Manusia tak punya rasa itu menjadikanku boneka.
Membuatku tersudut, menekuk kaki-kaki mungil yang ¾ nya tlah kaku.
Aku,
16 tahun lalu menjadi korban khilaf dunia.

Tuhan …
Biarkan bening ini bermuara, aku mohon.
Tak bermaksud apapun, aku hanya ingin tenang.
Menikmati seperseribujuta cahaya dari kehidupan ini.
Bukan fatamorgana dunia.

Kau yang Maha segalanya.
Kau tau isi hatiku kini.
Sungguh, aku begitu lelah.
Pahitnya hidup yang tak seharusnya aku rasakan begitu dini,
Membuatku begitu lelah.

Lagi-lagi aku rapuh.
Nistanya kehidupan ini membuatku tak berdaya.
Sempat ingin berubah,
tapi apa dayaku,
kodon-kodon negatif itu tlah mengalir dalam darah ini.

”Semua masih dapat berubah” ucap mereka, orang-orang yang menjadi sumber kekuatanku.
Tapi aku tak begitu yakin.
Nalarku buntu,
Aku hampir kehilangan interaksi dengan alam bawah sadarku.
Sepertinya trauma ini begitu mendalam, mendarah daging di tubuhku.

Tuhan …
Kini, dua dasawarsa tlah kulalui.
Kau tahu pasti, tentang aku.
Aku masih ingat kala itu, ketika aku mulai mengerti
Ketika aku dapat mengingat pasti, apa dan siapa yang ada di hadapan ku.
Bagaimana sakitnya saat terluka,
Bagaimana indahnya tawa bahagia.
Kulihat senyum mengembang di bibir manis mereka, Ayah dan Bunda.
Yang membuat hidupku terasa bermakna.

Hari ini, aku meminta.
Bantu aku, aku mohon ….
demi mereka.
Semua yang menyayangiku,
Semua yang slalu mengalirkan kehangatan dalam darahku.

Mereka yang mengatakan
“All is Well”
Tiap kali aku tafakur ke sudut pintu kamarku.

Aku ingin berubah, bangkit dari keterpurukan itu.
Meskipun itu mungkin akan begitu sulit untukku.
Tapi aku ingin berubah

Tuhan …
Ini aku, Si Kecil yang 16 tahun lalu
Menjadi korban hukum alam-Mu.
Bintang kecil kedua orang tuaku.

 :')
#Happy special day for me

Aku Telah Kalah Dengan Hatiku

"Aku mencintaimu" ucapnya ketika menunjukkan pukul 00.00.

Tepat sebulan telah terlewati. 'kita' diantara aku dan lelaki dihadapanku itu telah terjalin. Bersamaan dengan kata-katanya itu, dia mengecup keningku lembut. Lalu membiarkan ku hanyut dalam dekapannya.

Indah sekali ketika itu. Rasanya aku ingin waktu berhenti saat itu juga. Aku tak ingin malam itu berlalu. Entah kenapa. Tepat diatas hamparan rumput hijau dihalaman belakang rumahku, kami duduk menikmati malam itu. Beratapkan langit bertaburan bintang, hanya aku dan dia.

Malam ini, setahun setelah malam itu. Aku masih tetap duduk menikmati panorama alam saat ini. Mungkin agak sedikit berbeda, hmm memang berbeda. Bedanya jika malam itu ada aku dan juga dia, kali ini aku sendiri, ditemani hujan yang tak henti. Langit tak berbintang. Aku duduk di dekat jendela kamar. Masih memandang lurus ke arah halaman belakang tempat kami menghabiskan malam ketika itu.

"Aku ingin kau menjadi pendampingku" ucapnya.
Aku hanya tersenyum.
"Suatu hari nanti tepat di dalam sini, aku ingin kehidupan baru kita tumbuh dari sini, aku ingin kau bisa jadi ibu dari anak-anakku nanti" lanjutnya lagi.
kali itu sambil meletakkan tanganku juga tangannya di bawah dadaku, tempat kehidupan baru dimulai. Rahimku.

Hujan masih sangat deras bahkan semakin deras. Gemercik airnya membuat wajahku kaku. Masih kupandangi setiap sudut halaman belakang rumahku. Tak ada yang berubah dari setahun lalu, rumput hijau itu masih tetap sama. Tak ada setangkaipun bunga tertanam di atasnya.

Angin makin riuh, mungkin mengerti akan perasaanku kini. Masih saja aku duduk dibalik jendela kamarku, bersandarkan kayu penyangga kaca daun pintu itu.
"Aku tau kita sebagai umat-Nya hanya bisa berencana, tetap saja pada akhirnya semua akan terjadi atas kehendak-Nya. Namun jika 'kita' memang ketentuan-Nya, apa kau mau menjalani semuanya bersamaku? Bersama kita lewati dinginnya malam, panasnya Sang Surya, derasnya hujan, bersama kita lewati sisa hari. Kau, aku, dan tentu saja anak-anak kita nanti. Kau mau?"
Aku mengangguk lembut, tentu saja pernyataan itu membuatku tersenyum sumringah lalu membenamkan kepalaku tepat di dada yang bidang itu. Kami melewati malam itu bersama.

Namun semua itu hanya tinggal kenangan. Setahun kini berlalu. Kenyataannya aku melewati malam ini benar-benar tanpanya.
"Maafkan aku, aku ingkari semua janji kita. Aku mencintaimu, namun keadaan memaksaku" ungkapnya ketika aku makin mencintainya.

Impian untuk bersama, impian untuk menjadikan rahimku satu-satunya tempat kehidupan baru antara aku dan dia itu dimulai, nyatanya itu tak pernah terjadi. Setahun berlalu. Kini tanpanya, tanpa bintang, tanpa malam cerah. Hanya ada gemuruh, kilat yang membuat langit malam ini terlihat mencekam, serta angin yang bersemilir lirih.
"Suatu hari jika kau temukan yang lebih baik, gak apa kok. Aku gak akan paksa kau buat tunggu aku sampai pendidikanku selesai. Kau juga berhak bahagia"
(hanya menangis)
Dia menengadahkan wajahku kearahnya.
"Ada hal yang gak perlu dijelasin tapi cukup untuk dimengerti, aku mencintaimu" ucapnya sembari mengecup lembut keningku.
Air mata menetes jatuh mengalir di pipiku. Itu tepat beberapa bulan 'kita' terjalin.

Malam semakin larut, sementara aku masih tak beranjak sama sekali dari jendela kamarku. Hujan pun turun makin deras, bersamaan dengan air mataku yang mengalir begitu saja. Ini memang salahku, terlalu cepat bagiku untuk mencintainya. Aku terlalu larut dalam mimpi yang diciptakannya sampai aku lupa kalau aku berada di alam nyata. Harusnya aku bisa berpikir realistis saat itu. Kini aku sadar impian itu telah sirna hanyut bersama hujan, terbawa angin tak tersentuh lagi. Dan malam ini alam menjadi saksi kelemahanku, alam menjadi saksi penantian tak berujungku, alam menjadi saksi ketika air mata ini mengalir lembut, dan alam menjadi saksi akanku.

Ketika kenyataannya, aku memang telah kalah dengan hatiku~