Rabu, 07 Maret 2012

Until The end~



Raras,,, aku mohon. Mengertilah” ucap Adit.
“Apa yang harus aku mengerti, Dit. Apa? Sedangkan kamu tak pernah menjelaskan apa-apa selama ini. Apa yang harus kumengerti. Sebulan lebih kamu gak ngasih kabar ke aku. Jangankan SMS, telepon aku aja gak pernah kamu angkat. Sekarang kamu minta aku untuk mengerti? Aku gak bisa Adit…” ucapku setengah memekik.

Adit memelukku erat. Air mataku jatuh berhamburan dalam pelukannya.
“Kamu jahat, Dit. Kamu jahat…” ucapku lagi.
Masih dalam pelukan Adit.

“Ras… aku mohon. Jangan vonis aku seperti itu. Ini yang terbaik. Kita gak mungkin terusin semuanya. Aku cuma gak pengen semuanya jadi penyesalan buat aku entar, Ras. Aku mohon.” Pinta Adit.
“Tapi ini gak adil buat aku, Dit. Harusnya kamu bilang sama aku dari waktu itu. Biar aku juga bisa belajar buat ngelupain kamu seperti apa yang kamu lakuin. Kamu curang, Dit.” Ucapku masih terisak.
“Raras, please…” wajah Adit memelas.
Kubiarkan air mataku jatuh begitu saja. Kini aku tak berada di pelukannya lagi.

“Ini satu-satunya alasan yang buat aku gak pengen ngomong sama kamu. Aku benci lihat kamu nangis, Ras. Tapi dengan terpaksa, aku bicara dengan kamu. Karena aku gak mau kamu terus berharap dengan hubungan ini.” Pandangan Adit lurus ke depan, namun kosong.

Kalo kamu emang benci liat aku nangis, kenapa kamu tega lakuin ini ke aku, Dit? Kenapa?

“Ras, suatu hari nanti entah itu setahun, dua tahun, tiga atau bahkan sepuluh tahun lagi kita memang ditakdirin buat sama-sama, aku yakin kita pasti bisa bersatu lagi.”
“….”
“Kamu pantes dapetin yang lebih baik lagi, Ras”
“….”
“Oke, kasih aku pernyataan terakhir kali, perasaan kamu ke aku masih sama seperti dulu atau ngak!” tanyaku tegas.
“Sejak beberapa waktu lalu….”
“Aku cuma butuh jawaban ia atau gak, Dit” ucapku memotong perkataan Adit.
“Sejak beberapa waktu lalu….” Adit mencoba mengulang kata-katanya.
“Kamu ngerti gak sih, Dit. Aku cuma butuh jawaban ia atau gak doang” celahku lagi.
“Ras, tolong dengar kata-kataku dulu”
“Oke,, bicaralah!!”
Adit meneruskan kata-katanya. Sedikitpun aku tak berusaha untuk mendengarkannya.
“Udah selesai?” tanyaku.
Adit mengangguk.

“Sekarang aku cuma mau jawaban ia atau gak dari mulutmu. Aku gak peduli sama apa yang kamu bilang tadi.” Jelasku.
“Sejak saat itu…” Adit menarik napas. Berat.
“Sejak itu, perasaan ini…. Udah memudar” ucapnya pelan.

Aku bisa melihat sorot mata Adit. Berkaca-kaca.

Aku tau kamu bohong, Dit. Aku tau itu. Aku cukup mengenal siapa kamu. Tapi kenapa kamu harus berbohong seperti ini.

Aku bangkit dari tempat dudukku. Menghapus air mataku.
“Kamu mau kemana, Ras?” Adit menarik tanganku lemah.
“Lepas, Dit. Buat apa aku di sini, sementara aku udah tau kamu gak mencintai aku lagi”

Tak kuhiraukan lagi Adit. Kulepaskan tanganku dari genggamannya. Dan pergi meninggalkannya sendirian di tempat itu.