Rabu, 04 September 2013

Hei, kau! Aku merindukanmu.


Malam ini, ketika aku terbaring dibawah cahaya lampu temaram, aku mulai menulis lagi. Bersama senandung lirih yang terdengar dari gadget yang sedang kupegang, aku mulai bercerita. Malam ini detik kesekian kalinya aku mengingatmu. Mataku lagi-lagi tak dapat terpejam. Bayangmu kembali mengusik pikiranku. Lagi-lagi aku meluruhkan air mata hanya untuk sesuatu yang sia-sia.
 
Malam ini ketika rembulan hampir menutup mata, aku masih terjaga. Lembabnya dinding kamar makin terasa. Longlongan anjing mulai terdengar namun tetap saja mata ini masih terjaga.


Malam ini ketika suara dengkuran katak terdengar seperti meminta hujan, ketika gemuruh memekik menakutkan, ketika angin mulai bertiup kencang, aku memikirkanmu. Sosokmu begitu mengerikan. Hingga hampir tiap malamku terusik karena memikirkanmu.


Malam ini, aku sadar. Cinta ini telah menggunung. Rindu ini telah melangit. Hasrat ini begitu meluap-luap seperti air yang baru saja mendidih. Itu untuk kau. Hanya untuk kau, orang yang tak pernah sadar.


Mengapa aku begitu mencintaimu, sosok yang tak pernah menghargai akan arti ketulusan. Harusnya ini tak terjadi. Kalau saja, ya seandainya saat itu aku bisa lebih menjaga jarak dengan kehadiran hasrat mengerikan yang bisa membuat mati insan yang merasakannya. Cinta.


Taukah kau betapa kau makhluk terindah yang pernah ku temui tetapi juga makhluk terkejam yang aku tau. Kau datang, menetap kemudian pergi menghilang tanpa pesan. Kau tarik ulur hati ini sesukamu. Kau jadikan aku bonekamu. Ya, boneka yang bisa sesukamu kau permainkan. Apa kau pernah berpikir bagaimana sulitnya menjadi aku? Haaah, kau tak pernah memikirkan itu. Karena kau tak punya akal sehat.


Hei, kau. Harus dengan cara apa agar kau mengerti tentang rasa ini. Harus berapa ribu kali aku katakan, harus berapa ratus kali aku teriakkan, kalau aku cinta. Apa aku harus berlutut agar kau terenyuh. Malamku kini tak pernah benar-benar tenanng. Kau, kau dan hanya kau  yang muncul tiap kali aku menutup mata.


Ngilu, kembali kurasakan nyeri tepat diulu hati ini. Ternyata memang benar, seberapa kerasnya aku berusaha untuk bangkit, seberapa kokohnya pun raga ini melakukan pemberontakan, seolah-olah tegar, pada akhirnya aku benar-benar tak mampu menyembunyikan, aku benar-benar tak mampu.



Hei, kau!

Malam ini aku merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar