Sabtu, 14 September 2013

Dwitasari :): Jalan Pulang Untuk Rindu

Dwitasari :): Jalan Pulang Untuk Rindu: Langit Kelabu di sinar mataku, 1 Februari 2012 Untukmu, yang mungkin telah melupakan aku Surat ini khusus kualamatkan ke rumah hatim...

Kamis, 12 September 2013

Cerita pada Tuhan



Hei, Kau! Masih ingat dengan aku? Tentu saja Kau tak pernah melupakanku. Huh, bodohnya aku. Harusnya aku tak bertanya seperti itu pada-Mu. Siapapun tau, Kau Maha Segalanya, Kau Maha Mengetahui.

Ini aku. Masih sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Bedanya, dulu aku tak mengerti dengan segala hal, tapi kini... Kini aku telah mengetahui berbagai persoalan.

Hei, ini aku! Aku, korban hukum alam-Mu. Tak seperti enam belas tahun yang lalu ketika aku hanya bisa terbaring kaku saat dunia berlaku kejam terhadapku. Kini aku telah dapat membedakan mana ketika semesta tengah menertawakanku atau mungkin ketika jagat raya tengah memeluk jiwaku. Kini aku bisa merasakan, saat dewi fortune sedang berpihak menyemangati hasratku yang hampir mati.

Hahhh, mungkin kedengaran lucu, iyaaa sangat lucu. Pernahkah Kau dengar, seseorang yang hanya tau tanpa sadar rasanya tertawa lepas tanpa beban itu seperti apa dan itu terjadi hanya ketika dia melihat dan memberi salam pada dunia untuk pertama kalinya? Kau pasti sangat tau itu. Iya, karena orang itu aku. Hahaha

Masih jelas dalam ingatan ini ketika kedua pahlawanku menatap ku dengan penuh harap, tersenyum dengan tatapan berbinar-binar karena bangga memiliki aku. Itu, itu saat yang sangat tak ingin kulupakan. Kini aku merindukannya. Aku rindu, aku rindu. Rindu merindukan tawaku. Kapan itu terjadi lagi? Moment itu yang kuinginkan. Aku mau, aku ingin, aku mau menginginkan itu.

God, I still here. Look at me!
Aku bagian dari hukum alam-Mu. Jika Kau melihatku saat ini, dengarkanlah aku. Dengarkan senandung lirih yang sedang berdendang dalam laraku. Aku rindu dekapan-Mu.

Aku tau, cukup paham akan aku. Bukan kertas putih seperti ketika aku berkenalan dengan semesta-Mu dulu, seperti ketika ragaku mulai bersentuhan dengan elemen-elemen au tentu tak mungkin lupa. Aku masih bagian dari dzalim semesta-Mu, kebiadaban makhluk ciptaan-Mu. Kau tak mungkin lupa, karena Kau tak merasakan amnesia.

La la la la laaa
Kau dengar itu? Akan kucoba lagi.
La la la la laaa
Sudahkah Kau mendengarnya?
Gelombang bunyi dari alam bawah sadarku. Aku sedang bernyanyi. Batinku melantunkan gita nan lirih. Tak miriskah Kau mendengarnya?

Hei, Kau! Tuhan semesta alam. Sang Pencipta, penulis skenario kehidupan. Bisakah Kau hapuskan sedikit saja tentang lara beruntunan dalam kisahku? Mungkinkah kau mengubahnya menjadi:
Aku adalah seorang gadis pemimpi yang akan menjemput bahagianya dengan ketulusan dan caranya sendiri.

atau mungkin seperti ini:
Aku bak seorang putri raja yang hidup di istana nan indah, dengan gelak tawa dan senyum manis ditiap hariku kini dan tinggal menunggu Sang pangeran sampai lalu membawaku pergi ke dunia yang lebih berwarna.

Bisakah Kau merubahnya sedikit? :) Hihihi, konyolnya aku ini. Maaf kalau terdengar muluk-muluk khayalan ini. Tuhan, aku tau Kau selalu punya rencana indah dibalik tiap air mata tiap makhluk yang Kau ciptakan. Aku tau, hanya kesabaran juga yang bisa menuntun tiap hamba-Mu ke skenario paling indah itu. Tapi kini, bolehkah kali ini aku meminta? Tunjukkan aku sedikit saja kisi-kisi jawaban dari setiap ujian yang Kau berikan. Agar aku bisa menemukan pintu menuju kebahagiaan itu.

Sungguh aku benci ketika aku harus mengunci pintu  kamar dan membiarkanku menyudut dibaliknya. Aku benci saat malam datang, aku ingin lelap dalam tidurku dan suara rinai hujan mengusik pendengaranku. Aku benci ketika aku harus merelakan bening itu bergulir jatuh dari dekat mataku mengalir di atas pipiku. Aku benci ketika itu, saat aku harus mengikhlaskan apa yang tak ingin kurelakan. Aku benci ketika diriku terlihat lemah. Sungguh.

Hei, Kau! Lihat aku. Tatap aku. Ini aku gadis itu. Enam belas tahun telah berlalu, namun semuanya masih tetap sama. Tak bisakah aku meminta sedikit perubahan. Tolong update ceritaku. Aku rindu, aku rindu. Aku rindu merindukan itu. Tuhan, dekap aku, rangkul aku sebentar saja. Agar aku dapat merasakan bagaimana lelahnya aku. Kini aku tak mampu. Kini aku tak seperti bongkahan batu. Maaf, aku mulai tak bisa menjaga percaya-Mu. Percaya-Mu akan mampuku.

Hei, Kau! Ini aku, sehelai kain penuh lumpur. Pantaskah? Bolehkah aku meminta? Sekali lagi aku mau, aku ingin, aku mau menginginkan senyuman, simpulpun tak mengapa asal itu bisa menenangkan. Masih dapatkah aku merasakannya? :'(


Teruntuk Kau Sang Khalik-ku, aku rindu.
Aku rindu merindukan dekapan-Mu.

Dalam malam,
Ketika lolongan anjing terdengar mencekam,
Saat aku rindu..

Minggu, 08 September 2013

Sabtu, 07 September 2013

Dwitasari :): Sepotong Senja Untuk Mantanku*

Dwitasari :): Sepotong Senja Untuk Mantanku*: “Bagas, Lintang, Langit, Laut! Itulah nama anak-anak kita.” ucapmu semangat, dibalut senyum yang mengembang di sudut bibirmu. “M...

Rabu, 04 September 2013

Hei, kau! Aku merindukanmu.


Malam ini, ketika aku terbaring dibawah cahaya lampu temaram, aku mulai menulis lagi. Bersama senandung lirih yang terdengar dari gadget yang sedang kupegang, aku mulai bercerita. Malam ini detik kesekian kalinya aku mengingatmu. Mataku lagi-lagi tak dapat terpejam. Bayangmu kembali mengusik pikiranku. Lagi-lagi aku meluruhkan air mata hanya untuk sesuatu yang sia-sia.
 
Malam ini ketika rembulan hampir menutup mata, aku masih terjaga. Lembabnya dinding kamar makin terasa. Longlongan anjing mulai terdengar namun tetap saja mata ini masih terjaga.


Malam ini ketika suara dengkuran katak terdengar seperti meminta hujan, ketika gemuruh memekik menakutkan, ketika angin mulai bertiup kencang, aku memikirkanmu. Sosokmu begitu mengerikan. Hingga hampir tiap malamku terusik karena memikirkanmu.


Malam ini, aku sadar. Cinta ini telah menggunung. Rindu ini telah melangit. Hasrat ini begitu meluap-luap seperti air yang baru saja mendidih. Itu untuk kau. Hanya untuk kau, orang yang tak pernah sadar.


Mengapa aku begitu mencintaimu, sosok yang tak pernah menghargai akan arti ketulusan. Harusnya ini tak terjadi. Kalau saja, ya seandainya saat itu aku bisa lebih menjaga jarak dengan kehadiran hasrat mengerikan yang bisa membuat mati insan yang merasakannya. Cinta.


Taukah kau betapa kau makhluk terindah yang pernah ku temui tetapi juga makhluk terkejam yang aku tau. Kau datang, menetap kemudian pergi menghilang tanpa pesan. Kau tarik ulur hati ini sesukamu. Kau jadikan aku bonekamu. Ya, boneka yang bisa sesukamu kau permainkan. Apa kau pernah berpikir bagaimana sulitnya menjadi aku? Haaah, kau tak pernah memikirkan itu. Karena kau tak punya akal sehat.


Hei, kau. Harus dengan cara apa agar kau mengerti tentang rasa ini. Harus berapa ribu kali aku katakan, harus berapa ratus kali aku teriakkan, kalau aku cinta. Apa aku harus berlutut agar kau terenyuh. Malamku kini tak pernah benar-benar tenanng. Kau, kau dan hanya kau  yang muncul tiap kali aku menutup mata.


Ngilu, kembali kurasakan nyeri tepat diulu hati ini. Ternyata memang benar, seberapa kerasnya aku berusaha untuk bangkit, seberapa kokohnya pun raga ini melakukan pemberontakan, seolah-olah tegar, pada akhirnya aku benar-benar tak mampu menyembunyikan, aku benar-benar tak mampu.



Hei, kau!

Malam ini aku merindukanmu.