Kamis, 29 Agustus 2013

Untuk pertama kalinya tanpa memilikimu


Dentang jam kembali berbunyi. Kali ini dia berbunyi sekitar empat kali. Hmm, itu artinya ini sudah memasuki pukul 04.00. tapi mataku tak jua kunjung terpejam. Entah apa yang membuatku malam ini kembali sulit untuk tidur. Otakku, sepertinya kepalaku ini lagi-lagi terkontaminasi oleh pikiran tentangnya. Engkau lelaki yang dua puluh Sembilan maret lalu mengubah alur cerita hidupku. Skenario yang begitu indah seakan tertulis begitu saja ketika kau datang. Pria bermata agak sipit, kulitmu juga tak terlalu putih, hidungmu agak besar dan beberapa jerawat tumbuh diwajahmu. Kuakui parasmu tak begitu mempesona, namun entah mengapa  darah ini seperti kembali mengalir setelah lama beku ketika kau hadir. 

Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu dalam dunia nyata. Saat itu mata kita beradu pandang. Lucu sekali waktu itu. Wajahmu yang innocent, pipimu terlihat memerah ketika aku memintamu duduk diteras depan rumahku. Ah andai saja itu terulang. Sayang itu tak mungkin terjadi. ‘Kita’ diantara aku dan kamu itu memang telah berakhir.


Entah kenapa aku begitu mencintaimu. Aku juga tak mengerti. Kau tak sempurna, namun cinta yang kau berikan untukku terasa begitu menghujam jantung ini.


Ini kali pertamaku. Aku tak berharap sedikitpun merasakan ini lagi. Tidak untuk romansa kehidupanku nanti. Kau berhasil menipuku mentah-mentah. Pelangi indah yang kau ciptakan dihari-hariku, ternyata dengan mudahnya kau sulap menjadi mendung. Aku tertipu, tapi tetap saja tak mau peduli. Rasa yang kumiliki terhadapmu begitu dalam, hingga memunculkan toleransi hidup yang besar terhadapmu. Engkau, memang benar-benar tamu yang tak pernah kuundang namun kaulah yang berhasil membuat kesan menakjubkan dihidupku.


Ingatkah kau, percakapan kita tempo hari. Waktu itu kau bertanya padaku:

“Apakah kau benar mencintaiku?”

aku jawab, “Sungguh aku mencintaimu”

lalu kau kembali bertanya “Sedalam apa?”

aku menjawab lagi, “Kau bisa lihat aku saat ini, kau bisa menilainya dari perlakuanku padamu” kemudian aku tersenyum padamu.


Kau ingin tau sedalam apa aku mencintaimu? Kalau kau pernah menyelami lautan Hindia, mungkin lebih dalam dari itu. Aku juga yakin, kau tau seberapa besar kau mencintai dirimu sendiri dan kupastikan cintaku melebihi besarnya cintamu itu. Sungguh aku tak paham, perasaan ini membingungkan. Ketika aku terlalu lelah untuk bertahan namun aku juga terlalu sakit untuk melepaskan, cinta.


Dentang jam berayun lima kali. Bersamaan dengan lantunan adzan subuh yang berkumandang, membuatku tak kuasa meluruhkan beningnya dipipi ini. Tentu saja buat aku makin tak paham. Tiba-tiba ada rasa sesak yang sangat kurasakan disebelah kiri dadaku. Hampir saja napasku terhenti rasanya. Fajar kini mulai menyingsing ditengah kesakitanku. Semilir angin lirih, mewakili segala isi hatiku.


Aku begitu merindukanmu, merindukan dekapan yang slalu merelakanku terlelap didalamnya. Aku merindukanmu, pria dua puluh Sembilan maret lalu. Hari ini tepat ketika Sang Surya keluar dari peraduannya, untuk pertama kalinya tanpa memilikimu “Selamat tanggal dua puluh Sembilan kelima, pangeran senjaku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar