Dentang jam kembali berbunyi. Kali ini dia berbunyi sekitar
empat kali. Hmm, itu artinya ini sudah memasuki pukul 04.00. tapi mataku tak
jua kunjung terpejam. Entah apa yang membuatku malam ini kembali sulit untuk
tidur. Otakku, sepertinya kepalaku ini lagi-lagi terkontaminasi oleh pikiran
tentangnya. Engkau lelaki yang dua puluh Sembilan maret lalu mengubah alur
cerita hidupku. Skenario yang begitu indah seakan tertulis begitu saja ketika
kau datang. Pria bermata agak sipit, kulitmu juga tak terlalu putih, hidungmu
agak besar dan beberapa jerawat tumbuh diwajahmu. Kuakui parasmu tak begitu
mempesona, namun entah mengapa darah ini
seperti kembali mengalir setelah lama beku ketika kau hadir.
Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu dalam dunia
nyata. Saat itu mata kita beradu pandang. Lucu sekali waktu itu. Wajahmu yang innocent, pipimu terlihat memerah ketika
aku memintamu duduk diteras depan rumahku. Ah andai saja itu terulang. Sayang itu
tak mungkin terjadi. ‘Kita’ diantara aku dan kamu itu memang telah berakhir.
Entah kenapa aku begitu mencintaimu. Aku juga tak mengerti. Kau
tak sempurna, namun cinta yang kau berikan untukku terasa begitu menghujam
jantung ini.
Ini kali pertamaku. Aku tak berharap sedikitpun merasakan
ini lagi. Tidak untuk romansa kehidupanku nanti. Kau berhasil menipuku
mentah-mentah. Pelangi indah yang kau ciptakan dihari-hariku, ternyata dengan
mudahnya kau sulap menjadi mendung. Aku tertipu, tapi tetap saja tak mau
peduli. Rasa yang kumiliki terhadapmu begitu dalam, hingga memunculkan
toleransi hidup yang besar terhadapmu. Engkau, memang benar-benar tamu yang tak
pernah kuundang namun kaulah yang berhasil membuat kesan menakjubkan dihidupku.
Ingatkah kau, percakapan kita tempo hari. Waktu itu kau
bertanya padaku:
“Apakah kau benar mencintaiku?”
aku jawab, “Sungguh aku mencintaimu”
lalu kau kembali bertanya “Sedalam apa?”
aku menjawab lagi, “Kau bisa lihat aku saat ini, kau bisa
menilainya dari perlakuanku padamu” kemudian aku tersenyum padamu.
Kau ingin tau sedalam apa aku mencintaimu? Kalau kau pernah
menyelami lautan Hindia, mungkin lebih dalam dari itu. Aku juga yakin, kau tau
seberapa besar kau mencintai dirimu sendiri dan kupastikan cintaku melebihi
besarnya cintamu itu. Sungguh aku tak paham, perasaan ini membingungkan. Ketika
aku terlalu lelah untuk bertahan namun aku juga terlalu sakit untuk melepaskan,
cinta.
Dentang jam berayun lima kali. Bersamaan dengan lantunan
adzan subuh yang berkumandang, membuatku tak kuasa meluruhkan beningnya dipipi
ini. Tentu saja buat aku makin tak paham. Tiba-tiba ada rasa sesak yang sangat
kurasakan disebelah kiri dadaku. Hampir saja napasku terhenti rasanya. Fajar kini
mulai menyingsing ditengah kesakitanku. Semilir angin lirih, mewakili segala
isi hatiku.
Aku begitu merindukanmu, merindukan dekapan yang slalu
merelakanku terlelap didalamnya. Aku merindukanmu, pria dua puluh Sembilan maret
lalu. Hari ini tepat ketika Sang Surya keluar dari peraduannya, untuk pertama
kalinya tanpa memilikimu “Selamat tanggal
dua puluh Sembilan kelima, pangeran senjaku”