Kamis, 12 September 2013

Cerita pada Tuhan



Hei, Kau! Masih ingat dengan aku? Tentu saja Kau tak pernah melupakanku. Huh, bodohnya aku. Harusnya aku tak bertanya seperti itu pada-Mu. Siapapun tau, Kau Maha Segalanya, Kau Maha Mengetahui.

Ini aku. Masih sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Bedanya, dulu aku tak mengerti dengan segala hal, tapi kini... Kini aku telah mengetahui berbagai persoalan.

Hei, ini aku! Aku, korban hukum alam-Mu. Tak seperti enam belas tahun yang lalu ketika aku hanya bisa terbaring kaku saat dunia berlaku kejam terhadapku. Kini aku telah dapat membedakan mana ketika semesta tengah menertawakanku atau mungkin ketika jagat raya tengah memeluk jiwaku. Kini aku bisa merasakan, saat dewi fortune sedang berpihak menyemangati hasratku yang hampir mati.

Hahhh, mungkin kedengaran lucu, iyaaa sangat lucu. Pernahkah Kau dengar, seseorang yang hanya tau tanpa sadar rasanya tertawa lepas tanpa beban itu seperti apa dan itu terjadi hanya ketika dia melihat dan memberi salam pada dunia untuk pertama kalinya? Kau pasti sangat tau itu. Iya, karena orang itu aku. Hahaha

Masih jelas dalam ingatan ini ketika kedua pahlawanku menatap ku dengan penuh harap, tersenyum dengan tatapan berbinar-binar karena bangga memiliki aku. Itu, itu saat yang sangat tak ingin kulupakan. Kini aku merindukannya. Aku rindu, aku rindu. Rindu merindukan tawaku. Kapan itu terjadi lagi? Moment itu yang kuinginkan. Aku mau, aku ingin, aku mau menginginkan itu.

God, I still here. Look at me!
Aku bagian dari hukum alam-Mu. Jika Kau melihatku saat ini, dengarkanlah aku. Dengarkan senandung lirih yang sedang berdendang dalam laraku. Aku rindu dekapan-Mu.

Aku tau, cukup paham akan aku. Bukan kertas putih seperti ketika aku berkenalan dengan semesta-Mu dulu, seperti ketika ragaku mulai bersentuhan dengan elemen-elemen au tentu tak mungkin lupa. Aku masih bagian dari dzalim semesta-Mu, kebiadaban makhluk ciptaan-Mu. Kau tak mungkin lupa, karena Kau tak merasakan amnesia.

La la la la laaa
Kau dengar itu? Akan kucoba lagi.
La la la la laaa
Sudahkah Kau mendengarnya?
Gelombang bunyi dari alam bawah sadarku. Aku sedang bernyanyi. Batinku melantunkan gita nan lirih. Tak miriskah Kau mendengarnya?

Hei, Kau! Tuhan semesta alam. Sang Pencipta, penulis skenario kehidupan. Bisakah Kau hapuskan sedikit saja tentang lara beruntunan dalam kisahku? Mungkinkah kau mengubahnya menjadi:
Aku adalah seorang gadis pemimpi yang akan menjemput bahagianya dengan ketulusan dan caranya sendiri.

atau mungkin seperti ini:
Aku bak seorang putri raja yang hidup di istana nan indah, dengan gelak tawa dan senyum manis ditiap hariku kini dan tinggal menunggu Sang pangeran sampai lalu membawaku pergi ke dunia yang lebih berwarna.

Bisakah Kau merubahnya sedikit? :) Hihihi, konyolnya aku ini. Maaf kalau terdengar muluk-muluk khayalan ini. Tuhan, aku tau Kau selalu punya rencana indah dibalik tiap air mata tiap makhluk yang Kau ciptakan. Aku tau, hanya kesabaran juga yang bisa menuntun tiap hamba-Mu ke skenario paling indah itu. Tapi kini, bolehkah kali ini aku meminta? Tunjukkan aku sedikit saja kisi-kisi jawaban dari setiap ujian yang Kau berikan. Agar aku bisa menemukan pintu menuju kebahagiaan itu.

Sungguh aku benci ketika aku harus mengunci pintu  kamar dan membiarkanku menyudut dibaliknya. Aku benci saat malam datang, aku ingin lelap dalam tidurku dan suara rinai hujan mengusik pendengaranku. Aku benci ketika aku harus merelakan bening itu bergulir jatuh dari dekat mataku mengalir di atas pipiku. Aku benci ketika itu, saat aku harus mengikhlaskan apa yang tak ingin kurelakan. Aku benci ketika diriku terlihat lemah. Sungguh.

Hei, Kau! Lihat aku. Tatap aku. Ini aku gadis itu. Enam belas tahun telah berlalu, namun semuanya masih tetap sama. Tak bisakah aku meminta sedikit perubahan. Tolong update ceritaku. Aku rindu, aku rindu. Aku rindu merindukan itu. Tuhan, dekap aku, rangkul aku sebentar saja. Agar aku dapat merasakan bagaimana lelahnya aku. Kini aku tak mampu. Kini aku tak seperti bongkahan batu. Maaf, aku mulai tak bisa menjaga percaya-Mu. Percaya-Mu akan mampuku.

Hei, Kau! Ini aku, sehelai kain penuh lumpur. Pantaskah? Bolehkah aku meminta? Sekali lagi aku mau, aku ingin, aku mau menginginkan senyuman, simpulpun tak mengapa asal itu bisa menenangkan. Masih dapatkah aku merasakannya? :'(


Teruntuk Kau Sang Khalik-ku, aku rindu.
Aku rindu merindukan dekapan-Mu.

Dalam malam,
Ketika lolongan anjing terdengar mencekam,
Saat aku rindu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar