Selasa, 16 Oktober 2012

Aku Telah Kalah Dengan Hatiku

"Aku mencintaimu" ucapnya ketika menunjukkan pukul 00.00.

Tepat sebulan telah terlewati. 'kita' diantara aku dan lelaki dihadapanku itu telah terjalin. Bersamaan dengan kata-katanya itu, dia mengecup keningku lembut. Lalu membiarkan ku hanyut dalam dekapannya.

Indah sekali ketika itu. Rasanya aku ingin waktu berhenti saat itu juga. Aku tak ingin malam itu berlalu. Entah kenapa. Tepat diatas hamparan rumput hijau dihalaman belakang rumahku, kami duduk menikmati malam itu. Beratapkan langit bertaburan bintang, hanya aku dan dia.

Malam ini, setahun setelah malam itu. Aku masih tetap duduk menikmati panorama alam saat ini. Mungkin agak sedikit berbeda, hmm memang berbeda. Bedanya jika malam itu ada aku dan juga dia, kali ini aku sendiri, ditemani hujan yang tak henti. Langit tak berbintang. Aku duduk di dekat jendela kamar. Masih memandang lurus ke arah halaman belakang tempat kami menghabiskan malam ketika itu.

"Aku ingin kau menjadi pendampingku" ucapnya.
Aku hanya tersenyum.
"Suatu hari nanti tepat di dalam sini, aku ingin kehidupan baru kita tumbuh dari sini, aku ingin kau bisa jadi ibu dari anak-anakku nanti" lanjutnya lagi.
kali itu sambil meletakkan tanganku juga tangannya di bawah dadaku, tempat kehidupan baru dimulai. Rahimku.

Hujan masih sangat deras bahkan semakin deras. Gemercik airnya membuat wajahku kaku. Masih kupandangi setiap sudut halaman belakang rumahku. Tak ada yang berubah dari setahun lalu, rumput hijau itu masih tetap sama. Tak ada setangkaipun bunga tertanam di atasnya.

Angin makin riuh, mungkin mengerti akan perasaanku kini. Masih saja aku duduk dibalik jendela kamarku, bersandarkan kayu penyangga kaca daun pintu itu.
"Aku tau kita sebagai umat-Nya hanya bisa berencana, tetap saja pada akhirnya semua akan terjadi atas kehendak-Nya. Namun jika 'kita' memang ketentuan-Nya, apa kau mau menjalani semuanya bersamaku? Bersama kita lewati dinginnya malam, panasnya Sang Surya, derasnya hujan, bersama kita lewati sisa hari. Kau, aku, dan tentu saja anak-anak kita nanti. Kau mau?"
Aku mengangguk lembut, tentu saja pernyataan itu membuatku tersenyum sumringah lalu membenamkan kepalaku tepat di dada yang bidang itu. Kami melewati malam itu bersama.

Namun semua itu hanya tinggal kenangan. Setahun kini berlalu. Kenyataannya aku melewati malam ini benar-benar tanpanya.
"Maafkan aku, aku ingkari semua janji kita. Aku mencintaimu, namun keadaan memaksaku" ungkapnya ketika aku makin mencintainya.

Impian untuk bersama, impian untuk menjadikan rahimku satu-satunya tempat kehidupan baru antara aku dan dia itu dimulai, nyatanya itu tak pernah terjadi. Setahun berlalu. Kini tanpanya, tanpa bintang, tanpa malam cerah. Hanya ada gemuruh, kilat yang membuat langit malam ini terlihat mencekam, serta angin yang bersemilir lirih.
"Suatu hari jika kau temukan yang lebih baik, gak apa kok. Aku gak akan paksa kau buat tunggu aku sampai pendidikanku selesai. Kau juga berhak bahagia"
(hanya menangis)
Dia menengadahkan wajahku kearahnya.
"Ada hal yang gak perlu dijelasin tapi cukup untuk dimengerti, aku mencintaimu" ucapnya sembari mengecup lembut keningku.
Air mata menetes jatuh mengalir di pipiku. Itu tepat beberapa bulan 'kita' terjalin.

Malam semakin larut, sementara aku masih tak beranjak sama sekali dari jendela kamarku. Hujan pun turun makin deras, bersamaan dengan air mataku yang mengalir begitu saja. Ini memang salahku, terlalu cepat bagiku untuk mencintainya. Aku terlalu larut dalam mimpi yang diciptakannya sampai aku lupa kalau aku berada di alam nyata. Harusnya aku bisa berpikir realistis saat itu. Kini aku sadar impian itu telah sirna hanyut bersama hujan, terbawa angin tak tersentuh lagi. Dan malam ini alam menjadi saksi kelemahanku, alam menjadi saksi penantian tak berujungku, alam menjadi saksi ketika air mata ini mengalir lembut, dan alam menjadi saksi akanku.

Ketika kenyataannya, aku memang telah kalah dengan hatiku~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar