“Raras,,, aku mohon.
Mengertilah” ucap Adit.
“Apa yang harus aku
mengerti, Dit. Apa? Sedangkan kamu tak pernah menjelaskan apa-apa selama ini.
Apa yang harus kumengerti. Sebulan lebih kamu gak ngasih kabar ke aku.
Jangankan SMS, telepon aku aja gak pernah kamu angkat. Sekarang kamu minta aku
untuk mengerti? Aku gak bisa Adit…” ucapku setengah memekik.
Adit memelukku erat.
Air mataku jatuh berhamburan dalam pelukannya.
“Kamu jahat, Dit. Kamu
jahat…” ucapku lagi.
Masih dalam pelukan
Adit.
“Ras… aku mohon. Jangan
vonis aku seperti itu. Ini yang terbaik. Kita gak mungkin terusin semuanya. Aku
cuma gak pengen semuanya jadi penyesalan buat aku entar, Ras. Aku mohon.” Pinta
Adit.
“Tapi ini gak adil buat
aku, Dit. Harusnya kamu bilang sama aku dari waktu itu. Biar aku juga bisa
belajar buat ngelupain kamu seperti apa yang kamu lakuin. Kamu curang, Dit.”
Ucapku masih terisak.
“Raras, please…” wajah
Adit memelas.
Kubiarkan air mataku
jatuh begitu saja. Kini aku tak berada di pelukannya lagi.
“Ini satu-satunya
alasan yang buat aku gak pengen ngomong sama kamu. Aku benci lihat kamu nangis,
Ras. Tapi dengan terpaksa, aku bicara dengan kamu. Karena aku gak mau kamu
terus berharap dengan hubungan ini.” Pandangan Adit lurus ke depan, namun
kosong.
Kalo
kamu emang benci liat aku nangis, kenapa kamu tega lakuin ini ke aku, Dit?
Kenapa?
“Ras, suatu hari nanti
entah itu setahun, dua tahun, tiga atau bahkan sepuluh tahun lagi kita memang
ditakdirin buat sama-sama, aku yakin kita pasti bisa bersatu lagi.”
“….”
“Kamu pantes dapetin
yang lebih baik lagi, Ras”
“….”
“Oke, kasih aku
pernyataan terakhir kali, perasaan kamu ke aku masih sama seperti dulu atau
ngak!” tanyaku tegas.
“Sejak beberapa waktu
lalu….”
“Aku cuma butuh jawaban
ia atau gak, Dit” ucapku memotong perkataan Adit.
“Sejak beberapa waktu
lalu….” Adit mencoba mengulang kata-katanya.
“Kamu ngerti gak sih,
Dit. Aku cuma butuh jawaban ia atau gak doang” celahku lagi.
“Ras, tolong dengar
kata-kataku dulu”
“Oke,, bicaralah!!”
Adit meneruskan
kata-katanya. Sedikitpun aku tak berusaha untuk mendengarkannya.
“Udah selesai?”
tanyaku.
Adit mengangguk.
“Sekarang aku cuma mau
jawaban ia atau gak dari mulutmu. Aku gak peduli sama apa yang kamu bilang
tadi.” Jelasku.
“Sejak saat itu…” Adit
menarik napas. Berat.
“Sejak itu, perasaan
ini…. Udah memudar” ucapnya pelan.
Aku bisa melihat sorot
mata Adit. Berkaca-kaca.
Aku
tau kamu bohong, Dit. Aku tau itu. Aku cukup mengenal siapa kamu. Tapi kenapa
kamu harus berbohong seperti ini.
Aku bangkit dari tempat
dudukku. Menghapus air mataku.
“Kamu mau kemana, Ras?”
Adit menarik tanganku lemah.
“Lepas, Dit. Buat apa
aku di sini, sementara aku udah tau kamu gak mencintai aku lagi”
Tak kuhiraukan lagi
Adit. Kulepaskan tanganku dari genggamannya. Dan pergi meninggalkannya sendirian di tempat
itu.